Senin, 23 Februari 2009

islam masuk ke nusantara. .


pengirim : novita and noviyana
sumber :
sukolilo-madiun.blogspot.com/2008_01_13_archi...


Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup (?)
Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.
Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam? Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.
Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.
Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.
Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.
Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.
Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.
“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).
Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.
Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.
Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.
Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz, Bersambung)
dikutip dari : http://www.eramuslim.com/
Diposkan oleh azmad di 11:18 0 komentar
Senin, 2008 Januari 14

Sejarah Kabupaten Madiun
Kabupaten Madiun ditinjau dari pemerintahan yang sah, berdiri pada tanggal paro terang, bulan Muharam, tahun 1568 Masehi tepatnya jatuh hari Karnis Kilwon tanggal 18 Juli 1568 / Jumat Legi tanggal 15 Suro 1487 Be - Jawa Islam.
Berawal pada masa kesultanan Demak, yang ditandai dengan perkawinan putra mahkota Demak Pangeran Surya Patiunus dengan Raden Ayu Retno Lembah putri dari Pangeran Adipati Gugur yang berkuasa di Ngurawan Dolopo. Pusat pemerintahan dipindahkan dari Ngurawan ke desa Sogaten dengan nama baru Purabaya (sekarang Madiun). Pangeran Surya Patiunus menduduki kesultanan hingga tahun 1521 dan diteruskan oleh Kyai Rekso Gati. (Sogaten = tempat Rekso Gati)
Pangeran Timoer dilantik menjadi Supati di Purabaya tanggal 18 Jull 1568 berpusat di desa Sogaten. Sejak saat itu secara yuridis formal Kabupaten Purabaya menjadi suatu wilayah pemerintahan di bawah seorang Bupati dan berakhirlah pemerintahan pengawasan di Purabaya yang dipegang oleh Kyai Rekso Gati atas nama Demak dari tahun 1518 - 1568.
Pada tahun 1575 pusat pemerintahan dipindahkan dari desa Sogaten ke desa Wonorejo atau Kuncen, Kota Madiun sampai tahun 1590.
Pada tahun 1686, kekuasaan pemerintahan Kabupaten Purabaya diserahkan oleh Bupati Pangeran Timoer (Panembahan Rama) kepada putrinya Raden Ayu Retno Djumilah.. Bupati inilah selaku senopati manggalaning perang yang memimpin prajurit-prajurit Mancanegara Timur.
Pada tahun 1586 dan 1587 Mataram melakukan penyerangan ke Purbaya dengan Mataram menderita kekalahan berat. Pada tahun 1590, dengan berpura-pura menyatakan takluk, Mataram menyerang pusat istana Kabupaten Purbaya yang hanya dipertahankan oleh Raden Ayu Retno Djumilah dengan sejumlah kesil pengawalnya. Perang tanding terjadi antara Sutawidjaja dengan Raden Ayu Retno Djumilah dilakukan disekitar sendang di dekat istana Kabupaten Wonorejo (Madiun)
Pusaka Tundung Madiun berhasil direbut oleh Sutawidjaja dan melalui bujuk rayunya, Raden Ayu Retno Djumilah dipersunting oleh Sutawidjaja dan diboyong ke istana Mataram di Pleret (Jogyakarta) sebagai peringatan penguasaan Mataram atas Purbaya tersebut maka pada hari jum'at Legi tanggal 16 Nopember 1590 Masehi nama “Purbaya” diganti menjadi “Madiun ”
Diposkan oleh azmad di 10:27 0 komentar
Minggu, 2008 Januari 13

Keris
Dalam budaya Jawa tradisional, keris tidak semata-mataa dianggap sebagai senjata tikam yang memiliki keunikan bentuk maupun keindahan pamor, akan tetapi juga sebagai kelengkapan budaya spiritual. Ada satu anggapan yang berlaku di kalangan Jawa tradisional yang mengatakan, seseorang baru bisa dianggap paripurna jika ia sudah memiliki lima unsur simbolik: curiga, turangga, wisma, wanita, kukila.
Curiga, secara harafiah artinya keris, turangga artinya kuda atau kendaraan (simbol masa kini adalah motor atau mobil), wisma adalah rumah, wanita arti khususnya isteri, dan kukila arti harafiahnya adalah burung. Arti simbolik burung di sini, bagi seorang pria Jawa tradisional, ia harus mampu mengolah, menangkap dan menikmati keindahan serta berolah-seni. Curiga, atau keris, secara simbolik maksudnya adalah kedewasaan, keperkasaan dan kejantanan. Seorang pria Jawa tradisional, harus tangguh dan mampu melindungi diri, keluarga atau membela negara. Perlambangnya adalah keris.
Pada zaman kerajaan-kerajaan di masa lalu, tanda mata paling tinggi nilainya adalah keris. Pemberian paling berharga dari seorang Raja Jawa kepada para perwiranya atau abdi dalem, adalah keris.
Pada perkembangannya, keris di lingkungan kerajaan bisa menjadi simbol kepangkatan. Keris seorang Raja, tentu saja berbeda dengan keris perwira atau abdi dalem bawahannya. Tidak hanya bilah kerisnya saja yang berbeda, akan tetapi juga detil-detil perhiasan serta perabot yang melengkapinya pun berbeda.
Gradasi kepangkatan dari pemilik keris, juga bisa ditilik dari warangka yang menyarungi atau membungkus bilah keris. Warangka seorang Raja, tentu saja berbeda dengan warangka bawahannya. Bila seorang ksatria, tepat kiranya bila warangka yang dipakainya adalah warangka dengan wanda (model) kasatriyan. Pejabat kerajaan, memakai warangka kadipaten. Ada lebih dari 25 varian warangka Jawa di masa lalu yang bisa menjadi indikator kepangkatan pemiliknya. Bahkan daerah asal pun bisa ditilik dari warangkanya, apakah pemiliknya orang dari Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, Jawa Timur, Madura atau Bali.
Salah satu keunikan keris adalah kekuatannya pada detil. Hampir setiap detil yang melekat pada keris, baik pada bilahnya, warangka maupun perabotnya semuanya bisa menjadi simbol. Dari ukiran atau pegangan keris pun, pada masa lalu orang bisa menilik derajat dan kepangkatan. Varian ukiran keris Jawa pun, seperti halnya warangka, ada berbagai macam varian. Dibagi dalam dua garis besar gaya: Surakarta dan Yogyakarta. Di luar itu, tentu masih ada lagi gaya lain warangka atau ukiran luar Jawa seperti: Madura, Bali, Lombok, Sulawesi, Sumatera.
Di lingkungan keraton Surakarta masa lalu, misalnya, ukiran tunggak semi gaya Paku Buwono atau Yudowinatan, hanya boleh dipakai oleh seorang Raja. Pendhok (selongsong logam pada bungkus bilah) dengan warna kemalo (sejenis cat tradisional berwarna merah, hijau, coklat dan hitam), dulu dimaksudkan untuk membedakan derajat dan kepangkatan penyandangnya. Kemalo warna merah, misalnya, khusus untuk Raja dan kerabatnya, atau bangsawan dengan pangkat serendah-rendahnya Bupati. Kemalo warna hijau, untuk para mantri (menteri, perwira pembantu Raja). Pendhok kemalo warna coklat, untuk para bekel atau administratur menengah kebawah. Sedangkan pendhok hitam, untuk para abdi dalem, atau rakyat jelata.
Ada kalanya seseorang mendapatkan penghargaan dari seorang pejabat atau penguasa karena jasa-jasanya, dalam wujud sebilah keris dengan hiasan tertentu. Salah satu contoh klasik, adalah keris dengan ganja kinatah emas dengan relief Gajah-Singa, dulu dihadiahkan oleh Raja Mataram Sultan Agung kepada para perwiranya yang berhasil menumpas Pemberontakan Pragola, Kadipaten Pati di Jawa Tengah pesisir utara.
Bila dijabarkan dalam kalimat, gambar kinatah pemberian Sultan Agung itu berbunyi: Gajah Singa Keris Siji. Gajah itu 8, Singa 5, Keris 5, Siji 1. Jika dibaca dari belakang, berbunyi angka tahun Jawa 1558, yaitu tahun kemenangan Sultan Agung (Mataram) atau Kadipaten Pati.
Selain tanda penghargaan, keris yang diberi hiasan kinatah emas di bagian ganjanya, pada masa lalu juga dimaksudkan untuk menjadi peringatan waktu, tahun, yang tentunya dalam hitungan Tahun Jawa. Dalam khasanah budaya Jawa tradisional, disebut sebagai candra sengkala atau sengkalan. Gambar atau wujud benda, binatang, tumbuhan yang dikinatahkan juga bisa diartikan sebagai kronogram untuk menunjuk angka tahun.
Pada masa lalu, keris juga dipakai sebagai simbol identitas diri, entah itu diri pribadi, keluarga atau bahkan klan. Keris dengan dhapur (model), pamor (damascene) ataupun asesori tertentu, merupakan ciri khas milik pribadi, keluarga atau klan tertentu yang mempunyai kelebihan kepribadian atau karakter dalam masyarakat luas.
Dhapur Carubuk, dengan pamor pandita abala pandita, misalnya, dulu biasa dipakai oleh para Brahmana atau rohaniwan. Sedangkan dhapur Sengkelat pamor blarak ngirit, untuk para Raja atau penguasa.
Keris juga bisa berfungsi sebagai pertanda atribut utusan Raja, atau Duta Besar Raja. Apabila seseorang mendapat tugas dari Raja, semisal untuk mewakili Raja pada suatu acara penting menyangkut tugas kenegaraan yang mengandung risiko, maka kepada orang tersebut Raja meminjamkan sebuah keris pusaka milik sang Raja yang ‘bobot spiritual’nya sepadan dengan bobot tugas yang diembankan. Dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa tradisional, keris pada lalu juga berfungsi seremonial, menjadi lambang persaudaraan, persahabatan, perkawinan. Sudah menjadi kelaziman dalam hubungan pergaulan dengan orang lain, atau keluarga satu dengan keluarga lain, mereka mengikat tali persahabatan dengan bertukar tanda mata. Salah satu simbol persaudaraan atau persahabatan, dulu biasa ditandai dengan tukar-menukar keris. Bentuk persahabatan yang memakai simbol seperti ini, dulu dianggap sebagai bentuk hubungan erat dengan tingkat etika yang tinggi.
Dalam upacara perkawinan adat Jawa tradisional, apabila seorang calon mempelai laki-laki berhalangan datang, misalnya saja sedang mendapat tugas negara di tempat jauh dan tidak mungkin bisa menghadiri upacara, ia bisa “diwakili” secara simbolis dengan sebilah keris pusaka milik mempelai lelaki. Dalam upacara perkawinan itu, keris mempelai lelaki diperlakukan seperti layaknya calon mempelai lelaki sendiri, didudukkan bersanding mempelai wanita di pelaminan.
Bagi masyarakat Jawa tradisional, upacara perkawinan seperti itu sudah dianggap sah, meski mempelai lelaki secara fisik tidak hadir dalam upacara, dan hanya “diwakili” sebilah keris pusakanya.
Masih dalam lingkup seremonial perkawinan. Apabila mempelai lelaki menjalani upacara sungkeman (menghormati orang tua, dengan berlutut menyembah orang tua), keris yang disandang oleh mempelai lelaki harus dilepas lebih dahulu. Hal ini maksudnya, orang tua sehebat apapun, tidak boleh disembah oleh seorang menantu yang sedang menyandang keris pusaka. Karena, dalam anggapan orang Jawa tradisional, keris dianggap lebih tua dari orang tua yang di-sungkemi. Bahkan keris lebih tua dari siapapun yang hadir dalam acara perkawinan tersebut. Dalam makna mistiknya orang Jawa kuno, dimaksudkan agar orang tua tersebut tidak kuwalat (kena akibat buruk karena tindakan tidak hormat) terhadap keris mempelai lelaki.
Dalam hubungan keluarga, antara orang tua dan anak, tali persaudaraan ini juga ditandai dengan pemberian hadiah yang dalam khasanah budaya Jawa disebut sebagai kancing gelung, atau cundhuk ukel. Perwujudannya adalah sebuah keris, lengkap dengan perabotnya yang diberikan orang tua kepada anak perempuannya yang baru saja menikah. Maksudnya agar pemeliharaan keris tersebut kelak menjadi tanggung jawab suaminya. Sebuah arti simbolis pula untuk penyerahan anak perempuannya, agar dipelihara dan dihidupi oleh suami yang menikahinya. Selain makna-makna duniawi di atas, keris dalam kehidupan Jawa tradisional juga memiliki makna spiritual: sebagai manifestasi falsafah, wasiat atau pusaka. Dalam lingkup dunia mistik, sebagai azimat, medium komunikasi serta tempat bersemayamnya roh atau “yoni”. Hal terakhir ini, meskipun merupakan paham kuno, namun masih banyak orang Jawa modern saat ini yang mempraktekkannya.
dikutip dari : http://www.heritageofjava.com/
Diposkan oleh azmad di 18:25 0 komentar

Wayang
WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.
Asal Usul
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe­wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa­yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah per­tunjukan wayang.
Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis­toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone­sia halaman 987.
Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewa­yangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita­cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.
Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.
Menurut Sir Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Inggris yang pernah berkuasa atas Pulau Jawa pada abad ke-17, dalam bukunya History of Java, nama-nama kerajaan dalam pewayangan terletak di pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah.
Mandura, terletak di Pulau Madura sebelah barat.
Dwarawati, terletak di daerah Pati, Jawa Tengah.
Mandraka, terletak di sekitar Tegal dan Pekalongan.
Banjarjunut, terletak di sekitar Kebumen.
Talkanda, terletak di daerah Banjar­negara.
Indrakila, terletak di sekitar Jepara.
Pringgadani, terletak di utara Pegu­ngan Dieng.
Amarta, terletak di daerah Tanah tinggi Dieng.
Astina terletak di barat laut kota Yogyakarta sekarang.
dikutip dari : http://www.heritageofjava.com/
Diposkan oleh azmad di 18:18 0 komentar

Gamelan, Orkestra ala Jawa
Gamelan jelas bukan musik yang asing. Popularitasnya telah merambah berbagai benua dan telah memunculkan paduan musik baru jazz-gamelan, melahirkan institusi sebagai ruang belajar dan ekspresi musik gamelan, hingga menghasilkan pemusik gamelan ternama. Pagelaran musik gamelan kini bisa dinikmati di berbagai belahan dunia, namun Yogyakarta adalah tempat yang paling tepat untuk menikmati gamelan karena di kota inilah anda bisa menikmati versi aslinya.
Gamelan yang berkembang di Yogyakarta adalah Gamelan Jawa, sebuah bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya.
Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan. Perkembangan musik gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan, rebab, tepukan ke mulut, gesekan pada tali atau bambu tipis hingga dikenalnya alat musik dari logam. Perkembangan selanjutnya setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang, dan tarian. Barulah pada beberapa waktu sesudahnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.
Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang, gong dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending.
KendangKendang adalah instrumen pemimpin. Pengendang adalah konduktor dari musik gamelan. Ada 5 ukuran kendang dari 20 cm - 45 cm.

SaronAlat musik pukul dari bronze dengan disanggah kayu. Ada 3 macam Saron; Saron Barung, Saron Peking, Saron Demung.

Bonang BarungTerdiri dari 2 baris peralatan dari bronze dimainkan dengan 2 alat pukul.
SlentemLempengan bronze ini diletakan diatas bambu untuk resonansinya.
GenderHampir sama dengan slentem dengan lempengan bronze lebih banyak.
GambangLempengan kayu yang diletakkan diatas frame kayu juga.
GongSetiap set slendro dan pelog dilengkapi dengan 3 gong. Dua Gong besar (Gong Ageng) dan satu gong Suwukan sekitar 90 cm, terbuat dari bronze, Gong menandakan akhir dari bagian lagu yang liriknya panjang.
Kempul Gong kecil, untuk menandakan lagu yang bagiannya berirama pendek. Setiap set slendro dan pelog terdiri dari 6 atau 10 kempul.
Kenong Semacam gong kecil diatas tatakan, satu set komplet bisa 10 kenong baik set slendro atau pelog.
KetugDisebut juga kenong kecil, menandakan jeda antar lirik lagu.

ClempungA string instrument, each slendro and pelog set needs one clempung.
SiterTiap set slendro dan pelog memerlukan 1 siter.
SulingSetiap set slendro dan pelog memerlukan 1 suling.
RebabAlat musik gesek
Keprak and KepyakDiperlukan untuk pertunjukan tari
Bedug
Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar. Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
Anda bisa melihat gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti wayang kulit dan ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik gamelan biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa (penyanyi pria disebut wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana). Pertunjukan musik gamelan yang digelar kini bisa merupakan gamelan klasik ataupun kontemporer. Salah satu bentuk gamelan kontemporer adalah jazz-gamelan yang merupakan paduan paduan musik bernada pentatonis dan diatonis.
Salah satu tempat di Yogyakarta dimana anda bisa melihat pertunjukan gamelan adalah Kraton Yogyakarta. Pada hari Kamis pukul 10.00 - 12.00 WIB digelar gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri. Hari Sabtu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring wayang kulit, sementara hari Minggu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring tari tradisional Jawa. Untuk melihat pertunjukannya, anda bisa menuju Bangsal Sri Maganti. Sementara untuk melihat perangkat gamelan tua, anda bisa menuju bangsal kraton lain yang terletak lebih ke belakang.
dikutip dari : http://www.heritageofjava.com/
Diposkan oleh azmad di 17:30 0 komentar

Kidung Katresnan
“Matur nuwun yen esemmu kuwi tulus saka atimu, nanging yen mung kanggo balas dendam pliss…Nah, aja nyiksa aku kaya ngene.”
Ngono iku SMS sing dikirim Kang Tarjo wingi sore nalika aku lunga saka omahku Kalisuren. Tulisan iku sing gawe atiku bingung lan sansaya lara. Kang Tarjo iku kancaku. Aku karo dheweke suwe anggone kekancan, wis kawit biyen nalika aku durung ngerti isin wuda lan adus bareng-bareng karo kanca-kanca liyane. Dhek biyen aku ngrasa tresna kang banget marang dheweke. Kang Tarjo sing bagus lan gagah kaya Arjuna nggawe atiku dadi ra karuan, ra doyan mangan, lan ora kepenak anggone mapan.
Ibune Kang Tarjo kekancan karo ibuku wis suwe kawit ibu isih timur. Ibuku lan ibune kang Tarjo mantenan ing taun kang padha lan duwe putra meh bareng. Dhisik ibu wis arep njodhoke aku karo kang Tarjo. Nalika iku aku seneng banget. Nanging, Kang Tarjo mung nganggep aku adhi. Remuk atiku ngerti yen kang Tarjo mung nganggep aku kaya ngono. Kamangka aku karo dheweke wis raket banget, dolan bareng, mangkat sekolah bareng, ngendi-ngendi bareng.
Nalika aku arep neruske SMA aku milih lunga saka desaku. Aku milih lunga ninggalke Arjunaku lan kabeh sing dadi kenangan. Lunga adoh neng kutha liya lan nyambut gawe ana kene. Kutha Surabaya sing tak ajab bisa dadi panguripanku lan bisa nggawe aku nglalekna Kang Tarjo.
***
Esuk iki HPku muni. Dakbuka lan dakwaca. SMS saka Kang Tarjo.
”Nah........aku ngerti yen aku ra isa entuk katresnanmu. Aku ngerti yen kowe wis duwe wong liya sing banget tresnane marang kowe. Aku ngerti Nah! Nanging mung siji sing ra takngerteni Nah, nangapa aku kaya ngene Nah? Nangapa esemmu ra bisa ilang saka awang-awangku?”.
Aku mbales SMS-e Kang Tarjo. Lagi wae nulis saukara, keprungu lawang kamarku dikethok.
”Thok...Thok...Thok...!Nah, wis siap durung?Ayo ndang mangkat ben ra kasep!”. Keprungu swarane Mas Parmin sing ngajak cepet-cepet mangkat kerja. Gage aku nyaut tasku lan metu nemoni Mas Parmin.
”Iya Mas, sedhela...!” Aku mangsuli karo mlayu metu kontrakanku.
Ora let suwe aku wis ana boncengan. Motore Mas Parmin mlayu kebat banget kaya-kaya mabur ing awang-awang. Aku gocekan dheweke, nanging pikiranku mbuh neng ndi, ora ana boncengan kono kuwi. Sms saka Kang Tarjo isih sliwar-sliwer ana sirahku.
”Nah, wis tekan ayo ndang mudhun! Dhewe wis kawanen! Ayo ndang! Nah....!!!Nah.....!!!” swarane Mas Parmin ngagetke aku.
”Ee...ee...i...iyaa....Mas!” aku mangsuli rada gugup karo mudhun saka motor.
”Kowe ki nangapa ta Nah? Ketoke kok dadi seneng ngalamun. Apa kowe lagi ana masalah? Cerita ta karo aku. Aku iki rak tunanganmu, calon bojomu. Dadi aku kudu bisa dadi kancamu nalika seneng utawa nalika susah” Omonge Mas Parmin karo nggandheng tanganku mlebu ana pabrik.
”Ora ana apa-apa Mas. Aku mung rada kesel” omongku sajak gawe tentrem Mas Parmin.
”Ya ngaso Nah yen pancen awakmu rada kesel. Ora usah nglembur ana ngomah dhisik. Yen perlu kerdus-kerdus sing kokgawa mulih kae tak rampungke aku wae”. Tembunge Mas Parmin maneh.
Mas Parmin kuwi wonge menengan, ora tau nesu marang aku. Dheweke bisa gawe tentrem ati nalika lagi susah. Mas Parmin iku uga priya sing jujur, alus, tulus, lan ora neka-neka.
Aku kelingan nalika biyen pertama kenal karo Mas Parmin. Nalika iku dheweke diutus Pak Kepala Bagian menehna layang kanggo karyawan kang aran Siti, ananging dheweke kleru menehna layange neng aku. Kamangka Siti sing dimaksud kuwi Siti Wulandari karyawati bagian pengolahan. Wiwit iku mau, aku dadi kenal dheweke. Tambah dina aku lan Mas Parmin sansaya cerak lan rumaket. Ora krasa wis setaun lawase aku pacaran karo dheweke. Tibane sasi wingi tanggal 17, aku lan Mas Parmin resmi tunangan. Ngucapake janji bakal ndadekake aku bojone kang bakal ngancani salawase.
”Nah.....Nah.....Nah....!!!” Marni ngomong karo nabok pundakku.
Aku kaget lan lagi nyadar menawa aku nglamun. ”Eeh....Eh...” kandhaku rada gugup.
”Maemunah.....Maemunah....., Ayo kerja maneh aja nglamun wae! Mengko mundhak kesambet dewa Amor. Hee...Hee.....Hee...!” Marni ngomong karo mesem sajak ngguyoni aku. Gage aku menyat lan nyaut kerdus-kerdus sing bakal dienggo wadhah kaleng susu.
***
Aku mlaku alon-alon tumuju parkiran motor. Kaya biasane aku lan Mas Parmin kangsenan ana kana. Jangkahku sansaya alon. Aku ngrasakake awakku banget lemese. Srengenge wis katon ana sisih kulon. Katon abang. Silo. Sirahku krasa mumet banjur pet, kabeh peteng.
Aku melek nanging kabeh katon blawur. Sirahku krasa cenut-cenut. Saya suwe kabeh katon padhang lan jelas. Aku weruh Mas Parmin ana ing sandhingku.
”Aku ana ngendi?” pitakonku karo menyat saka paturon.
”Kowe ana kontrakanmu Nah” wangsulane Mas Parmin karo ngelus rambutku.
”Sirahku rada lara Mas...” omongku maneh.
“Ngasoa sik Nah, kowe kekeselen nganti semaput ana pabrik” Mas Parmin nyoba nerangna.
***
Dina Minggu, prei anggonku kerja. Saiki aku wis mari. Wis bisa mlaku jumangkah ana ing teras omah kontrakanku. Rong dina lawase aku mung isa turon ana kasur, ora duwe daya kanggo ngobahke awak. Aku kelingan HP-ku sing ana ing ndhuwur meja. Dakjupuk lan dakbukak pesen ana ing kotak masuk. Mak jenggeleg rasane, ana SMS saka Kang Tarjo nanging SMS iku wis kebukak. Dakwaca apa isine.
”Nah...saiki aku ngerti nangapa esemmu ra isa ilang saka pikiranku, takcoba nglalekake malah sansaya kelingan. Aku tresna marang kowe Nah. Tresna kang sejati. Ora kaya tresnaku marang wong liya. Nah, apa kowe isih gelem menehi dalan sethithik wae kanggoku supaya bisa ana ing atimu? Sadurunge aku njaluk ngapura menawa biyen aku gawe laraning atimu. Aku nyesel Nah, aku nyesel biyen ra nganggep kowe ana, kamangka dhewe wis rumaket banget. Yen ta pancen Gusti paring piwales aku siap Nah, nanging menawa kudu adoh saka kowe aku ra isa Nah. Aku tresna marang kowe, Nah!”.
Tumetes eluhku nalika maca tulisan kuwi. Atiku bingung. Atiku seneng nanging atiku nesu. Atiku dhemen nanging atiku getun. Atiku percaya nanging atiku lara. Aku ra ngerti pacoben apa maneh kang diparingke Gusti kanggo aku.
”Piye rasane awakmu saiki Nah?” Mas Parmin teka karo nggawa apel sakresek neng tangan. ”Wiiii....wiiss kepenak Mas” Aku mangsuli karo gugup lan ngusap-usap eluhku.
”Hlo...nangapa kowe malah nangis?” pitakone Mas Parmin sajak kuwatir lan mlirik tanganku sing lagi nyekel HP.
”Ora nangapa-apa Mas”. Wangsulanku rada lirih.
Mas Parmin mandeng mripatku lan nyekel tanganku. ”Nah, aku pingin ngomong. Wingi awan kancamu Tarjo nelpon. Aku lan dheweke omong-omongan babagan awakmu. Aku ngerti Nah apa sing ana antarane aku, kowe, lan Tarjo. Aku ngerti sapa Tarjo kuwi lan kepiye Tarjo marang kowe. Aku uga ngerti kepiye atimu marang Tarjo. Nah, aku tresna marang kowe, mula saka iku aku tansah kepingin kowe seneng, mulya, lan sentosa. Saiki yen kahanane wis kaya ngene aku kudu bisa wicaksana. Aku ora bakal meksa kowe Nah. Yen pancene sing bisa gawe seneng sliramu Tarjo, aku bakal ikhlas. Iki kabeh mung amarga aku tresna tenan karo kowe”. Mangkono wicarane Mas Parmin. Ora krasa tumetes eluh ing pipiku. Tumetese saya banter kaya udan deres ing sasi rendheng.
”Mas...aja ngomong kaya ngono. Mung sliramu kang dadi raja ing atiku. Aku njaluk ngapura Mas menawa aku asring gawe luput. Aku ra kepengin dhewe pisah mung karana Kang Tarjo, Mas. Aku pingin tetep bekti nganti dadi bojomu”. Kandhaku karo nangis.
”Yo wis Nah, aku percaya marang kowe. Aku yakin kowe bisa milih kanthi pener”. Mas Parmin mangsuli karo ngrangkul aku.
***
Srengenge katon padhang sore iki. Cahyane cumlorot ana wit-witan ing ngarep omah. Aku njagok ana teras karo nggawa HP-ku. Kanthi madhep mantep aku nulis sms kanggo Kang Tarjo.
”Kang....aku ngerti apa sing kok rasake. Aku ngerti kepiye atimu marang aku. Nanging aku ra bisa males katresnanmu, Kang. Aku mung wanita kang ora sampurna. Neng njaba kana isih akeh widadari ayu lan sampurna sing luwih pantes koksandhing. Kang...ikhlasna aku, aku arep nggayuh lan nglakoni uripku karo priya sing wis takpilih. Yo ben katresnane dhewe kesimpen ana jagad lan dadi crita sing endah”.
Ngono wacan SMSku. Gage dakkirim marang Kang Tarjo.
Neng sandhing lawang wis ketok Mas Parmin sing nggawa kembang ing tangane. Aku mandeng dheweke karo mesem. Neng ati aku ndonga muga-muga Gusti paring pitulung, paring karaharjan sarta kaendahan mar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar